BUKA DISINI UNTUK
Meskipun demikian, Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) Maha Pengampun. Dengan rahmat-Nya, Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) memberi peluang bagi orang yang berbuat dosa untuk bertaubat
kepada-Nya. Betapa pun banyak dosa yang kita lakukan dan sebesar apapun dosa
tersebut, bila kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah, maka Dia akan
mengampuninya.
Allah berfirman yang artinya :;
“Katakanlah, “Wahai
hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.” (az-Zumar: 53). Allah Swt juga berfirman, “Dan barangsiapa berdosa
atau menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampun, niscaya
dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun.” (Q.S. an-Nisa’: 110).
Dikecualikan
dosa syirik, Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) tidak akan
mengampuninya. Allah berfirman yang artinya ;
"Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia
mengampuni dosa selainnya itu bagi siapa yang Dia kehendaki.”
(An-Nisa’: 48 dan 116).
Kewajiban Bertaubat Kepada Allah SWT
Hanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam yang ma’shum (suci), karena beliau
dijaga Allah Swt dari dosa dan maksiat. Dosa-dosa beliau telah diampuni oleh
Allah, baik yang terdahulu maupun akan datang. Beliau adalah sosok manusia yang
paling bertakwa dan mendapat jaminan masuk surga. Walaupun demikian, Rasulullah
tetap beristighfar dan bertaubat kepada Allah setiap harinya seratus kali,
sebagaimana sabdanya: “Demi Allah, sesungguhnya saya beristighfar dan bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dalam sehari
lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat
lain, beliau bersabda: “Wahai manusia, bertaubatlah pada Allah Swt dan mohonlah
ampun kepada-Nya. Sesungguhnya saya bertaubat kepada-Nya dalam sehari
seratus kali.” (HR. Muslim).
Ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik dari kedua hadits diatas:
Pertama, kedua hadits tersebut merupakan dalil atas
wajibnya bertaubat, karena Nabi saw memerintahkannya.
Kedua, hadits ini menjadi dalil bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wassalam adalah orang yang paling kuat ibadahnya kepada Allah Subhanahu
wa-ta'ala dan paling bertakwa.
Ketiga, hadits ini menunjukkan bahwa Rasul adalah guru
kebaikan dengan lisan dan perbuatannya. Namun demikian, beliau senantiasa
memohon ampun kepada Allah dan menyuruh manusia agar membaca istighfar, hingga
mereka meneladani beliau dalam menjalankan perintah dan mengikuti sunnahnya.
Keempat, ini merupakan kesempurnaan nasihat Rasulullah
kepada ummatnya. Maka kita juga harus meneladani beliau, yaitu jika kita
menyuruh manusia dengan suatu perintah, maka kita harus melaksanakannya
terlebih dahulu. Sebaiknya jika kita melarang mereka dari sesuatu, maka kitapun
harus menjadi orang yang pertama yang menghindari larangan tersebut, karena ini
adalah hakikat seorang da’i kepada Allah, bahkan inilah hakikat dakwah kepada
Allah, yaitu melaksanakan apa yang kita perintahkan dan meninggalkan apa yang
kita larang darinya.
Menurut Dr. Musthafa Bugha, Rasulullah mengajarkan dan mendorong ummatnya untuk
selalu beristighfar dan bertaubat seperti dirinya, karena dengan rutinitas
beristighfar dan bertaubat ini akan menghapus dosa-dosa yang kadangkala
dilakukan oleh seorang manusia tanpa disadari. Kemudian, hadits tersebut tidak
bermaksud jumlah tertentu dalam istighfar, namun yang ditegaskan adalah kualiti
dan kuantitas istighfar, sesuai dengan kemampuan masing-masing kita.” (Nuzhatul
Muttaqin, 1/ 31).
Dosa yang kita lakukan pun beragam macam dan kadarnya, bisa berupa dosa kecil
maupun dosa besar. Tergantung jenis maksiat yang kita lakukan. Terkadang kita
menyakiti hati saudara kita dengan cacian, ghibah dan fitnah. Kadang pula kita
menyalahi amanah (khianat) terhadap jabatan kita dan mengambil hak orang lain
dengan cara yang bathil (korupsi, menyuap, mencuri dll). Kita juga pernah
berdusta, manipulasi, dan sebagainya. Kitapun pernah tidak shalat, puasa dan membayar
zakat.
Dalam kondisi berlumuran dosa ini, wajib hukumnya bagi kita untuk bertaubat
kepada Allah. Kewajiban ini Allah sebutkan dalam al-Quran (at-Tahrim: 8).
Syarat-Syarat Taubat
Agar taubat kita diterima Allah Subhanahu wa-ta'ala, maka
harus memenuhi kriteria tertentu. Jika dosa itu berkaitan dengan Allah
Subhanahu wa-ta'ala, maka taubat yang sejati itu harus memenuhi tiga kriteria:
Pertama; meninggalkan kemaksiatan tersebut.
Kedua; menyesali perbuatannya. Ketiga; bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya. Jika salah satu dari ketiga
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka taubatnya itu tidak sah.
Jika dosa yang berkaitan dengan manusia, maka syaratnya
ada empat, yaitu yang tiga sama dengan diatas dan ditambah menunaikan hak
manusia. Jika hak itu berupa harta dan sebagainya, maka dia harus
mengembalikannya. Jika hak itu berupa hukuman had qazf (tuduhan berzina), maka mintalah
dihukum atau minta maaf. Dan jika kemaksiatan itu berupa ghibah, maka dia harus
meminta maaf. (Riyadlus Shalihin, 46).
Taubat harus disertai dengan kejujuran, maka jika
seseorang bertaubat kepada Allah, dia harus melepaskan diri dari dosa (Ali
Imran: 135-136). Sedangkan orang yang bertaubat dengan lisan saja, sementara
hatinya masih berniat mengerjakan maksiat atau meninggalkan kewajiban atau
bertaubat dengan lisannya, sementara anggota tubuhnya terus berbuat maksiat,
maka taubatnya tidak bermanfaat, bahkan taubatnya itu bisa dianggap menghina
Allah.
Selain itu, bertaubat harus disertai dengan amal shalih. Karena dengan amal
tersebut, dosa-dosa kita terhapus sebagaimana cahaya matahari menghilangkan
kegelapan malam.
Allah
berfirman, “(Yaitu) barangsiapa
berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertaubat
setelah itu dan memperbaiki diri, maka Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
(al-An’am: 54).
Allah
berfirman;
“Dan sungguh, Aku Maha
Pengampun bagi yang bertaubat, beriman dan beramal shalih (berbuat kebaikan),
kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS: Thaha: 82).
Kesempatan Untuk Bertaubat
Di antara
bukti kasih sayang Allah Subhanahu wa-ta'ala yang paling agung untuk kita
adalah Dia tetap memberi peluang dan kesempatan kepada kita untuk bertaubat dan
kembali kepada-Nya, hingga saat ini. Tak peduli berapa
lebarnya jarak yang memisahkan kita lakukan lewat kekeliruan dan dosa
kepada-Nya. Allah Subhanahu wa-ta'ala ternyata tetap saja memberi kesempatan
buat kita untuk menoleh dan kembali kepada-Nya. Tak peduli bagaimanapun
legamnya hati kita oleh dosa kemaksiatan yang terus-menerus kita lakukan.
Kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali mendekat
kepada-Nya itu ada pada kesempatan hidup yang Allah berikan pada kita hingga
saat ini. Karena rentang kehidupan yang kita jalani sebenarnya adalah rentang
pintu taubat yang tak mungkin tertutup kecuali hingga kehidupan kita berakhir.
Disaat kita merasakan kerongkongan tercekik menghembuskan nafas terakhir, di
sanalah pintu kesempatan kembali kita sudah tertutup. “Sesungguhnya Allah Swt
menerima taubat seorang hamba, selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya.”
(HR. Tirmizi).
Kita harus terus waspada. Karena di antara gangguan dan
bisikan syaitan kepada orang yang bertaubat adalah bisikan yang
membesar-besarkan prilaku dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan hingga
seseorang merasa lunglai dan percuma bertaubat. Sementara di sisi yang lain,
syaitan juga menghembuskan bisikan untuk mengecil-ngecilkan dan menyepelekan
dosa dan kemaksiatan, sehingga seseorang terus-menerus melakukan dosa dan
kemaksiatan itu.
Dalam Fiqih syaitan, suasana putus asa yang memalingkan
seseorang dari taubat, itu lebih utama daripada mendorong orang untuk melakukan
dosa dan kemaksiatan. Apa sebabnya? Karena pelaku dosa dan kemaksiatan bisa
saja bertaubat dan taubatnya diterima Allah swt. Tapi orang yang putus asa dari
rahmat Allah dan tidak mau bertaubat, akan semakin jauh untuk kepada Allah.
Mungkin hal inilah yang menjadikan sebagian ulama
berpendapat, tentang keutamaan seorang berilmu yang beribadah kepada Allah
dengan ilmu dan pemahamannya, meski amal ibadahnya tidak terlalu banyak.
Dibandingkan dengan seribu orang ahli ibadah yang menjalankan amal ibadah
begitu banyak, tapi miskin ilmu. Pelaku ibadah yang berilmu, akan bersikap
lebih keras dan lebih waspada terhadap gangguan syaitan, ketimbang mereka yang
melakukan ibadah, tanpa ilmu. Itu karena, gangguan syaitan biasa mengelabui
ahli ibadah yang lugu dari tipu syaitan.
Jika kita termasuk orang-orang yang sedang bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala waspadalah. Karena saat-saat itulah syaitan
lebih meningkatkan intaiannya untuk masuk melalui sisi-sisi lengah dan celah
kelemahan kita. Syaitan berupaya menghiasi hati kita untuk menjadi senang dan
bangga dengan taubat, namun kemudian kita terpedaya menganggap bahwa
pertarungan dengan nafsu sudah selesai. Kondisi seperti ini sangat berbahaya,
karena bisa jadi tipuan seperti itu sulit diditeksi kecuali oleh mereka yang
tajam mata batinnya karena keimanan. Dia-lah yang bisa membedakan, antara
taubat yang sejati dan taubat palsu.
Boleh saja kita yang merasa suka cita dan gembira karena
telah kembali kepada Allah swt. Sebagaimana Allah swt juga sangat suka cita
menerima hamba-Nya yang kembali kepada-Nya (HR. Bukhari). Tapi,
berhati-hatilah, dari kesenangan dan kegembiraan yang bisa menipu dan
menjadikan kita tenang serta yakin dengan nasib di akhirat lalu merasa aman
dari azab Allah.
Pertarungan dan kewaspadaan ini belum selesai, sampai
kedua kaki kita menginjak surga. Dan kitapun tidak tahu apakah kelak akan masuk
surga atau tidak.
Beristighfar dan bertaubatlah segera..! Jangan menunda
taubat dan amal. Karena kitapun tidak tahu kapan maut menjemput kita, dimana
pada saat itu pintu taubat telah ditutup. Maka gunakanlah pintu taubat selagi
masih ada kesempatan, selama masih terbuka lebar bagi hamba-Nya yang ingin
kembali kepada-Nya.
Taubat Nasuha- doanload di sini (klik tanda panah ke bawah)
No comments:
Post a Comment